Pangeran Cakra Buana dan Pangeran Kian Santang Putra Prabu Siliwangi

Sejarah Cirebon nyaris tak menyinggung dan mengisahkan Kian Santang. Meski dua tokoh utama dalam sejarah berdirinya kesultanan Cirebon adalah Anak anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang. Mereka adalah Pangeran Cakrabuana dan Putri Rara Santang. Bisa jadi hal ini yang kemudian memunculkan dugaan atau teori yang menganggap bahwa Kian Santang sesungguhnya adalah Pangeran Cakrabuana sendiri.

Ayah dan Bunda biasanya hanya akan mengizinkan anak anaknya meninggalkan rumah untuk melanjutkan pembelajaran setelah mencapai usia dewasa. Perjalanan Pangeran Cakrabuana sampai ahirnya tinggal bersama kakeknya di Cirebon pun pada awalnya dijalani sendirian sampai kemudian adik perempuannya, Rara Santang menyusulnya. Cukup masuk akal bila saat itu Kian Santang yang masih belum mencapai usia dewasa tidak pergi bersama dua kakaknya, tapi masih tinggal di keraton Pajajaran bersama orang tuanya.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Raden Kian Santang adalah Pangeran Cakrabuana. Bilalah demikian adanya maka yang memulai berdirinya kesultanan Cirebon adalah Kian Santang, termasuk yang mendirikan kraton Pakungwati, lalu menikahkan putrinya dengan Syarif Hidatullah. Dan tentu saja berarti Kian Santang adalah juga mertua Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati ?.

Pernyataan itu sama sekali bertolak belakang dengan sejarah kesultanan cirebon. Cikal bakal kesultanan Cirebon dimulai oleh Pangeran Cakrabuana yang ditunjuk oleh ayahnya sendiri (Prabu Siliwangi) untuk menjadi penguasa disana sebagai bagian dari Pajajaran.  Bermodalkan harta dari Kakeknya dari pihak Ibu beliau membangun kraton Pakungwati yang namanya diambil dari nama putrinya.

Pangeran Cakrabuana ke tanah arab bersama adik perempuannya (Rara Santang) tinggal di kediaman kerabat dari kakek-nya. Melaksanakan ibadah haji dan menetap cukup lama disana untuk belajar Islam, baru kemudian pulang ke tanah Jawa tanpa ditemani oleh Rara Santang yang sudah menikah di tanah Arab.

Intinya adalah bahwa Pangeran Cakrabuana berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, menyempurnakan rukun Islam yang ke lima, maknanya beliau sudah muslim sebelum berangkat ke Arab. Beliau sudah “nyantri” di Cirebon memahami ajaran Islam cukup lama sebelum kemudian berangkat ke tanah suci. Tentang sejarah Islam di Cirebon Anda bisa menelusuri lebih jauh tentang Syech Datuk Kahfi atau varian nama lainnya.

Bandingkan dengan sejarah Kian Santang yang mainstream menyebutkan bahwa beliau berangkat ke tanah Arab untuk menemukan lawan tanding yang mampu mengalahkannya, yakni orang yang bernama “Sayyidina Ali”. Sampai kemudian memeluk agama Islam, maknanya bahwa, berdasarkan kisah tutur tersebut, Kian Santang berangkat ke tanah Arab sebelum menjadi muslim. Disebutkan bahwa, beliau justru mulai memeluk Islam di tanah Arab setelah kalah telak kesaktiannya dengan orang yang dikenal dengan nama “Sayyidina Ali”.

Kian Santang kembali ke tanah air berusaha meng-Islamkan ayahandanya namun gagal dan kembali lagi ke tanah suci untuk belajar dalam kurun waktu yang cukup lama. Setelah cukup menimba ilmu di tanah suci beliau kembali ke Pajajaran, melanjutkan upaya meng-islamkan ayahandanya.

Sedangkan Pangeran Cakrabuana kembali ke tanah Jawa dari tanah arab, melanjutkan pengembangan dakwah, membuka wilayah baru, membangun keraton, menjalankan roda pemerintahan di wilayah yang kini disebut Cirebon, sebagai bagian dari kerajaan Pajajaran. Cirebon merupakan salah satu gerbang laut utama bagi Kerajaan Pajajaran selain Banten dan Sunda Kelapa. Dari alur cerita tutur yang beredar pun sangat jelas bahwa Kian Santang dan Pangeran Cakrabuana adalah dua sosok yang berbeda.

Teori atau pendapat lain bahkan menyebutkan bahwa sesungguhnya sosok Kian Santang itu tidak pernah ada. Kisah Kian Santang sendiri adalah sebuah kisah karangan yang dituturkan oleh Pangeran Cakrabuana dalam dakwahnya dengan metoda berdakwah melalui cerita atau mendongeng. Bahwa kisah Kian Santang yang dituturkan itu diambil dari salah satu buku yang tersimpan di perpustakaan kerajaan Pajajaran. Pangeran Cakrabuana memetik kisah itu menjadi bahan dakwahnya karena memiliki alur cerita yang mirip dengan perjalanan hidupnya sendiri.

Konon, buku tersebut mengisahkan tentang Pangeran Gagak Lumayung putra mahkota kerajaan Tarumanegara, anak dari Prabu Purnawarman, di sekitar tahun 450 masehi. Nama Ki An San Tang (Sang Penakluk Bangsa Tan) merupakan gelar kehormatan bagi Gagak Lumayung yang berhasil mengalahkan pasukan bangsa Tan yang kala itu menyerbu ke Taruma Negara. Dan menurut pendapat ini, sosok Kian Santang yang selama ini kisahnya dituturkan adalah sosok pangeran Gagak Lumayung tersebut. Pendapat ini agak sulit untuk diterima karena Pangeran Gagak Lumayung yang dimaksud justru hidup di masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, Sehingga dengan sendirinya pendapat yang menyatakan bahwa Kian Santang Adalah cerita dongeng yang dituturkan oleh Pengeran Cakrabuana dari Kisah perjalanan Ki An San Tan alias Gagak Lumayung dari era Tarumanegara, gugur dengan sendirinya.

Kian Santang Bertarung dengan Ayahnya Sendiri?

“Adu kesaktian” dengan berbagai alur cerita antara Kian Santang melawan ayahnya sendiri (Prabu Siliwangi) sangat melekat dengan sosok Kian Santang, dan akhir dari ‘pertarungan’ itu adalah di sebuah gua di Leuweung (Hutan) Sancang (di Pameungpeuk, Kabupaten Garut).  Ada banyak versi tentang ahir dari bagian ini, namun memiliki garis merah yang sama yakni; Prabu Siliwangi “Moksa” di Leuweung Sancang.

Bila saja kisah tersebut benar adanya, Itu bermakna Prabu Siliwangi moksa dua kali. Karena kemudian ada kisah tutur yang menyebutkan bahwa moksanya Prabu Siliwangi karena ke-engganannya mengikuti ajakan Syarif Hidayatullah untuk (Kembali) ber-Islam. Antara usia Kian Santang dan Syarif Hidayatullah (antara paman dan keponakan) terpaut dua puluhan tahunan, atau dalam bahasa sederhananya pada saat Syarif Hidayatullah baru lahir di tanah arab, Kian Santang sudah sakti di tanah Jawa.

Bila Prabu Siliwangi sudah di “moksa’ kan oleh Kian Santang di Leweung Sancang dan sudah tidak lagi hidup di alam dunia ini dan juga sudah tidak lagi menjadi Raja Pajajaran, bukankah mustahil sosok yang sama kemudian berhadapan dengan Syarif Hidayatullah lalu “moksa” demi menghindari pertarungan dengan cucunya sendiri. 

Dalam "Wangsit Uga Siliwangi" dikatakan bahwa keturunnya akan menjadi pengingat mengingatkan saudara kalian dan orang lain, Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya :

"Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang !"

artinya:

"Kalian yang di sebelah barat!".."Carilah oleh kalian Ki Santang !"  "Sebab.."

"Nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi!

"Ingat! Jangan menoleh kebelakang!"

Dalam artikel sebelumnya tentang Prabu Siliwangi, telah dijabarkan bahwa Prabu Siliwangi wafat secara wajar dan kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Putra Mahkota, Prabu Surawisesa. Beliau yang kemudian menulis sebuah prasasti di tahun ke 12 sejak kematian ayahandanya. Prasati yang dikemudian hari dikenal sebagai Prasasti Batu Tulis. Pembuatan prasasti tersebut dilakukan di masa damai setelah ditandatanganinya perjanjian tapal batas dengan Kesultanan Cirebon, saat itu Pajajaran juga sudah kehilangan wilayah Banten dan Sunda Kelapa yang dikuasai Kesultanan Cirebon.

Maknanya bahwa, Baik Kian Santang maupun keponakannya (Syarif Hidayatullah), tidak pernah bertarung atau adu kesaktian dengan Prabu Siliwangi dalam upaya meng-islam-kan ataupun dalam upaya mengajak Prabu Siliwangi untuk kembali ke jalan Islam, dan berujung kepada moksa nya Sang Prabu dari alam dunia. 

Menilik tiga pernikahan Prabu Siliwangi, kita akan mendapati kenyataan bahwa dua dari pernikahan beliau memiliki nuansa politik yang kental. Pernikahannya dengan Kentring Manik Mayang Sunda memberikan beliau legalitas sebagai pewaris kerajaan Sunda dari Prabu Susuktunggal. Kemudian pernikahannya dengan Ambet Kasih yang tak lain adalah putri dari Ki Gede Sindangkasih penguasa Sindangkasih (Majalengka), daerah yang “tak jauh dari” atau malah merupakan “ibukota” kerajaan Galuh yang membuka ruang baginya untuk memuluskan kekuasaan dari ayahandanya, Prabu Dewa Niskala.

Sedangkan perjumpaan beliau dengan Subang Larang, merupakan perjumpaan tanpa sengaja di ‘pesantren’ Syech Quro, yang justru terjadi dalam tugas beliau untuk membumihanguskan pondok Quro, tapi malah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Subang Larang. Kekuatan apa yang mampu membuat pewaris tahta dua kerajaan sekaligus, mampu mengubah haluan hidupnya, selain kekuatan cinta.

Cinta nya kepada Subang Larang yang kemudian membawa beliau kepada Islam, demi memenuhi syarat yang diajukan oleh Subang Larang untuk menerima pinangan Prabu Siliwangi. Berislamnya Sang Prabu tidak diikuti dengan berislamnya Pajajaran secara keseluruhan kala itu, mengingat bahwa pernikahan terjadi pada saat Sang Prabu masih berstatus sebagai “putra mahkota”, dan kemungkinan akan menyulitkkan posisinya untuk menyatukan kembali dua kerajaan yang terpisah apabila terang terangan menyatakan keyakinannya yang sudah berbeda dengan khalayak ramai kala itu termasuk berbeda dengan anggota keluarga keraton Pajajaran lainnya.

Dari fakta sejarah tidak pernah ada serbuan dari pusat kerajaan Pajajaran ke daerah Cirebon meskipun saat itu Islam sudah berkembang pesat di masa Pangeran Cakrabuana berkuasa disana sebagai bawahan Pajajaran, bukahkah Prabu Siliwangi sendiri yang datang ke Cirebon dan mengesahkan Pangeran Cakrabuana, putra tertuanya dari Subang Larang sebagai penguasa Cirebon sebagai kerajaan bawahan Pajajaran. Sangat nyata bahwa beliau melakukan pembiaran bagi berkembangnya Islam di kerajaannya sendiri.

Suasana berubah drastis ketika Subang Larang wafat, Sang Prabu tenggelam dalam duka mendalam dan berkepanjangan, membuat beliau kehilangan sosok yang senantiasa mengingatkan beliau pada nilai nilai Islam, sedangkan dua anaknya (Cakrabuana dan Rara Santang) sudah tidak tinggal di Kraton Pajajaran. Hanya putra ke tiganya dari Subang Larang yakni Kian Santang yang masih tinggal di kraton Pajajaran. Maka wajar bila kemudian berkembang kisah tutur tentang pertarungan antara Kian Santang dengan ayahnya dalam upaya mengislamkan (kembali) sang Ayah. Yang paling mungkin terjadi adalah, Kian Santang memang berusaha ‘menasihati’ ayahandanya untuk tidak berlarut larut dalam kesedihan dan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya. Namun tentu saja tanpa sebuah pertarungan adu kesaktian dua pendekar pilih tanding sebagaimana yang sering disampaikan secara tutur tinular.

Pangeran Cakrabuana yang mempunyai nama asli Pangeran Walang Sungsang selama hidupnya memiliki dua orang istri. Dari kedua Istrinya itu kemudian beliau memperoleh keturunan sepuluh anak, yaitu delapan orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Adapun nama-nama putra putrinya adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan Dengan Nyi Rasa Jati. 
Nyi Rasa Jati merupakan puteri dari Syekh Jatiswara, beliau dikisahkan berasal dari Cempa sebab itulah orang Cirebon menyebutnya Syekh Jatiswara Cempa. 
Dari perkawinan dengan Nyi Rasa Jati atau Nyi Gedeng Jati ini beliau dikaruniai tujuh anak, kesemuanya wanita. Adapun nama-namanya adalah sebagai berikut:

~  Nyi Lara Konda, di Alas Konde Gunung Jati
~  Nyi Lara Sejati, di Gunung Jati
~  Nyi Jati Merta, di Desa Jati Merta
~  Nyi Jemaras, di Desa Jemaras
~  Nyi Mertasinga, di Desa Mertasinga
~  Nyi Cempa, di Desa Dukuh, Karang Kendal
~  Nyi Rasamalasih, di Blok Sembung Astana Gunung Jati

2. Perkawinan Dengan Nyimas Kencana Larang.
Nyimas Kencana Larang atau yang mempunyai nama lain Nyi Mangunsari Ing Kamangunan adalah anak dari Kuwu Cirebon pertama, yaitu Ki Gede Alang-Alang, atau Bramacari Srimaana, seorang Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. 

Hasil perkawinan dengan Nyimas Kencana Larang ini, Pangeran Cakrabuana memperoleh satu puteri dan dua putera, yaitu :
(1) Nyi Dalem Pakungwati. 
(2) Pangeran Kejaksan/Pangeran Pajebugan dikenal juga dengan nama Arya Mengger. 
(3) Pangeran Pajarakan.

Sementara kisah beralih ke Raden Kian Santang saat Pergi Meninggalkan Tahta 

Prasasti Banten mengindikasikan bahwa Prabu Siliwangi wafat dan dimakamkan di Rancamaya, bukan moksa di suatu tempat. Bila beliau moksa tentunya tidak akan ada prosesi pemakaman dan dua belas tahun kemudian makamnya di bongkar oleh Prabu Surawisesa untuk diperabukan bersamaan dengan pembuatan prasasti yang kini dikenal dengan prasasti Batu Tulis.

Kehilangan Ibunda sekaligus kehilangan ayahanda tercinta dan bukan pula sebagai pewaris utama tahta kerajaan tentunya cukup alasan bagi Kian Santang untuk hijrah kemanapun yang beliau inginkan. Sedangkan untuk berdakwah dilingkungan keraton yang masih kental dengan ajaran sebelumnya, termasuk juga masih dianut oleh Penerus Raja yang tak lain adalah Kakaknya sendiri meski berbeda ibu, hanya akan menimbulkan pertentangan dan pertikaian yang tidak semestinya terjadi.

Dapat difahami bila kemudian Kian Santang memilih untuk berdakwah di pedalaman Pajajaran, tidak pula di wilayah Cirebon yang sudah ditangani oleh kakaknya dan dikemudian hari dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Dan sebagai putra raja wajar pula bila beliau melakukan perjalanan ditemani oleh pengawal dan orang orang kepercayaan dengan bekal yang cukup pula untuk memulai sebuah kehidupan baru. Seberapapun perbedaan pandangan hidup antara Kian Santang dengan Surawisesa namun bagaimanapun mereka adalah saudara seayah. Surawisesa selaku penerus tahta tidak mungkin membiarkan adiknya pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa bekal apapun.

Pada usia 22 tahun Prabu Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.

Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Pasundan. Prabu Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa.

Dikemudian hari beliau dikenal dengan nama
Prabu Kiansantang atau Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci.
Sunan Rohmat Suci diyakini wafat dan dikebumikan di tempat terakhir beliau berdakwah, yaitu di suatu tempat di daerah Garut yang kini dikenal dengan nama Makam Godog di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. 
Tidak hanya beliau yang bermakam disana tapi juga beberapa pengikut dan pengiring atau pengawal beliau. Komplek pemakaman yang ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai penjuru tanah air. 

Kisah tutur yang berkembang di masyarakat mengalir secara turun temurun, meski sulit untuk dibuktikan validitasnya namun pastinya ada pelajaran pelajaran berharga yang dapat dipelajari.

0 Komentar